Artikel ini bermula dengan adanya sebuah review dari
peraturan internasional yang berhubungan dengan peningkatan dari zona maritim
dan aplikasi mereka dari kasus kenaikan permukaan air laut, dimana mengacu pada
bab “the best dilemma”. Kemudian “the best dillema” akan didiskusikan
kesinambungannya dengan kemungkinan konteks dari negara kepulauan oleh sea leve
rise( dibahas dalam “the best dilemma”) .
State dillema memberikan solusi terhadap isu negara yang
menghilang dimana status nya menjadi” deterriorialised state” dan mengahasilkan
peratuaran-peraturan yang baru untuk kestabilan, dan masa depan tersebut.
Pada suatu keadaan ada yang disebut “straight bestline”,
dimana garis pesisir memberikan jarak yang jauh atau yang berada pada daerah
pinggiran sepanjang sekitar pesisir, metode “straight bestline”menghubungkan
beberapa poin yang berhubungan dimana saat digambar akan menjadi bestline.
Metode “straight bestline” tidak boleh melewati wilayah pesisir dan harus
berada pada pulau induk yang bersubjek dari rezim pada laut pedalaman.
Ada satu teori yang bernama teori ambulatory, menurut teori
ambulatory menjelaskan dimana garis dasar itu melewati batas maka seluruh
kawasan itu terpengaruh pada sea level rise .
Menurut LOSC 1982 ada 2 pemikiran untuk menyelasaikan masalah
daerah maritim yang terkena efek sea level rise. Pemikiran pertama lebih mengambil
tindakan dari hukum internasional yang ada. Tokoh pada pemikiran ini yaitu
Hayashi, dimana ada 3 kemungkingan :
1.
Negara dapat mengambil keuntungan besar dari
peraturan garis dasar yang ada
2.
Negara secara permanent dapat menentukan batas
terluar dari batas kontinen negara tersebut sejauh 200mil dan memperluas
wilayah landasnya.
3.
Negara dapat melindungi daerah maritim mereka
dengan cara mengadakan perjanjian bilateral dengan negara-negara tetangga
mengenai perbatasan-perbatasan.
Sedangkan pada pemikiran kedua memberikan pendapat dimana
menolak teori ambulatory tentang garis dasar dan mengadopsi hukum positif baru
dari hukum internasional yang membekukan hukum tentang garis dasar dan batas
terluar.
Pada akhirnya, solusi
yang lebih memungkinkan adalah adanya kategori negara baru yaitu “the
deterritorialised state”. Aplikasi konsep ini adalah diperikasanya konteks dari
negara yang menghilang mengatur zona maritimnya.
Benar adanya hukum international pada dasarnya menetapkan
syarat teritorial seperti kebutuhan untuk status negara bagian. Akan tetapi
konsep dari negara deterriolised tidaklah baru ataupun ditolak oleh hukum
international sekarang.
Hukum internasional sudah mengemukakan bahwa kekuasaan atas
bangsa dapat dipisahkan dari daerah teritorial. Dan hukum international mampu
memberi tanggapan atas masalah menghilangnya negara dimana penduduk tidak
semakin terpojok sebagai korban, agar mereka tetap diakui walau mereka tidak
memiliki daerah.
Dalam konteks
menghilangnya negara, deterriolised terdiri dari pemerintah dan wibawa yang
dipilih oleh suara teregistrasi di negara teritorial. Hal ini sesuai dengan
permintaan yang pernah diajukan oleh pemerintahan Tuvalu dan Maldines. Strategi
perjanjian internasional pada pembekuan garis dasar menjadi kunci penting bagi
negara yang menghilang untuk menggunakannya sebagia zona maritim. Peraturan di
negara yang menghilang dianggap sama saja seperti negara biasa.
kesimpulan
Mengatur dan menjaga yang
berhubungan dengan laut dan negara yang menghilang cukup rumit. Apabila
perubahan iklim dapat diprediksi setiap tahunnya maka rezim internasional yang
legal dan rezim peraturan di laut akan lebih fokus pada pencegahan-pencegahan yang
ditimbulkan akibat perubahan iklim.
Bagaimanapun pembekuan
garis batas dan persetujuan konsep serta parameter negara teritorial akan
memberikan kepastian dan keamanan bagi negara-negara yang takut tergenang
karena kenaikan permukaan laut dan memperbolehkan mereka untuk fokus pada tugas
yang lyang terus menerus mengenai perkembangan dan adaptasi selama mereka bisa.
No comments:
Post a Comment