Saturday, May 25, 2013

MANGROVE AND THE NAME OF TREND



Penurunan luasan hutan mangrove telah menjadi bahan penelitian baik di mahasiswa maupun para peneliti. Namun, sampai sekarang masih parsial dan tidak terintegratif. Mengapa? Hasilnya masih menunjukkan bahwa solusi awal adalah dengan cara rehabilitasi. Sementara rehabilitasi masih belum berjalan dengan baik, timbul tekanan lain. Kita tahu bahwa Pantai Utara Jawa terekploisir dengan adanya pembangunan dikarenakan wilayah pantai ini dapat dijadikan AREAL KOMERSIL. Tinjauan kasus detail yang dialami oleh Penulis ada 2 dimana:

1. Di Sumatera Utara, terdapat satu wilayah yang hutan mangrovenya mengalami konversi 3 kali, dari mangrove ke tambak dan kemudian ke kelapa sawit. Survey wawancara yang dilakukan pada tahun 2011 menyatakan bahwa pendapatan penduduk yang menangkap ikan di sekitar mangrove TURUN DARI Rp 100.000 PER HARINYA MENJADI Rp 25.000, tentunya masih ada mangrove di sekitar kelapa sawit. Ada pernyataan bahwa tanah dan air yang berada di sekitar mangrove telah terkontaminasi oleh pestisida, namun di lain hal, penulis menyatakan juga adanya PERUBAHAN RANTAI MAKAN DAN SIKLUS ORGANISME.

Gambar
Konversi Hutan Mangrove

2. Permasalahan selanjutnya, Pulau Biawak dan Pulau Gosong yang berada di Laut Jawa (Utara Indramayu) merupakan salah satu pulau yang sangat indah. Kegiatan “Clean Sea Action” yang dilakukan oleh Tim BIEXRE I mendapati bahwa sampah yang ada di pulau itu sebagian besar adalah tali temali dar nelayan. Sampah plastic ini kebanyakan tersangkut pada akar mangrove. Dalam radius 200 m, DIDAPATI 10 KARUNG GONI PLASTIK DANTALI TEMALI. Berbeda dengan Pulau Biawak, Pulau Gosong terdapat sampah berupa minuman plastic dan dus penyangga.
Apakah memang di wilayah lainnya terdapat kasus yang sama? Apakah memang kasus itu mempengaruhi secara langsung terhadap ekosistem mangrove? Jika ditilik kasus pada tahun 2011, mungkin saat ini pengaruhnya tidak terlalu signifikan. Hal ini dikarenakan penduduk/masyarakat belum mendapatkan akibat dari kegiatan ini.

Pembahasan :

1. Dalam kasus konversi tersebut, tidak hanya terjadi di satu daerah saja. Beberapa daerah di Indonesia yang memiliki hutan mangrove, hutan tersebut dikonversi menjadi perkebunan misalkan di Pulau Sumatera. Hal ini berdampak langsung terhadap ekosistem mangrove sendiri. Hasil dari konversi ini menguntungkan satu pihak saja yaitu pengelola perkebunan. Nelayan menjadi dirugikan akibat penurunan hasil tangkapan mereka. Penggunaan pestisida pada perkebunan juga menimbulkan efek bagi biota yang hidup di area mangrove. Siklus hidup biota menjadi terganggu dan pada akhirnya akan merubah pola rantai makanan.

2. Upaya penyelamatan ekosistem mangrove yaitu rehabilitasi masih belum berjalan dengan baik. Penggunaan lahan menjadi areal komersil dapat menggangu proses rehabilitasi mangrove tersebut. Selain itu juga dapat terjadi karena pembangunan di pantai.

3. Pada masalah sampah, hal ini memang tidak berpengaruh secara langsung terhadap mangrove itu sendiri. Namun pada akhirnya efek tersebut akan dirasakan oleh makhluk hidup dalam jangka waktu yang panjang. Ekosistem mangrove akan rusak dan akan berimbas pada ekosistem lainnya seperti lamun dan terumbu karang. Manusia akan merasakan dampaknya yaitu menurunnya jumlah ikan dan hasil laut lainnya. 
Penyelamatan hutan mangrove harus dilakukan saat ini juga, agar manfaat dari kelestarian mangrove dapat dirasakan secara berkelanjutan. SAVE MANGROVE !



Kelompok Acanthaster planci
  1. Muktarinan
  2. Andi Reiza J.
  3. Chrisentia R.
  4. Nurasri Hilman
  5. Kartika Nurhasanah
  6. Fransiska Sonya

No comments:

Post a Comment